Kamis, 06 September 2012

MENULIS KARYA SASTRA

MENULIS KARYASASTRA

Oleh : Drs. JAHIDIN, M.Pd.
(Kepala SLB Muhammadiyah Banjarsari Ciamis)

A. PENDAHULUAN
Menulis karya sastra merupakan salah satu materi pokok dalam pelajaran Bahasa Indonesia di setiap sekolah, tak terkecuali di Sekolah Luar Biasa. Oleh karena itulah, para guru yang mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia sudah semestinya memahami dan menguasai ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam penulisan karya sastra baik itu cerpen, novel, derama, maupun puisi. Adanya pelajaran sastra di sekolah tentu bukan sesuatu yang main-main, tetapi memiliki kepentingan yang sangat mendasar bagi kehidupan setiap orang. Yakni untuk membentuk kepribadian, mempertajam kepekaan terhadap lingkungan, menanamkan sikap estetika, serta dapat direalisasikan sebagai masukan dan kontrol terhadap kehidupan sosial. Jadi karya sastra merupakan suatu hal yang sangat  penting untuk dijadikan bahan pembelajaran di sekolah.
Seorang guru bahasa dan sastra Indonesia paling tidak harus menguasai unsur-unsur pokok yang terdapat dalam karya sastra, sehingga ia mampu memberi pelajaran tentang menulis sastra kepada anak didiknya. Atas dasar pertimbangan itulah kiranya sangat tepat Kelompok Kerja Guru Pendidikan Luar Biasa di lingkungan Gugus 27 SLB Kabupaten Ciamis, memasukkan materi Menulis Karya Sastra sebagai salah satu bahasan dalam program kegiatan diskusinya.
Dalam kenyataan sehari-hari disinyalir bahwa nilai-nilai luhur dalam sisem budaya  seperti ketertiban, tanggung jawab, pengendalian diri, kebersamaan, keimanan, dan lain-lainnya yang seyogyanya berporos dalam pendidikan di sekolah, di rumah dan di masyarakat, kemudian diteladankan oleh pendidik, orang tua, dan pemuka masyarakat serta dibaca dalam karya-karya sastra, ternyata belum berlangsung sepenuhnya seperti yang diharapkan bersama. Padahal kita ketahui bahwa karya-karya sastra merupakan sari dari pengalaman batin bangsa, suka-dudkanya, pencapaian dan kegagalannya, keberanian dan ketakutannya, kegagahan dan kebopengannya, kejujuran dan kekhianatannya, serta catatan setia perjalana  sejarahnya. Semua itu ditemukan dalam bentuk yang estetik, indah, menyentuh perasaan dan memberikan kearifan hidup bagi pembacanya.
Apabila kekayaan sastra tersebut, yang berbentuk puisi, cerpen, novel dan drama dibaca, dihayati dan didalami, maka berlangsunglah penghalusan budi, pengayaan pengalaman dan perluasan wawasan terhadap kehidupan. Pembaca sastra ini menjadi toleran terhadap masyarakatnya, bersimpati pada manusia dan makhluk serta alam sekitarnya. Dia menjadi arif dan cinta pada kehidupan, berempati pada penderitaan manusia dan sangat sensitif serta mudah diajak untuk beramal saleh pada masyarakat. Dia akan benci pada setiap kekerasan, tidak akan sudi ikut serta dalam tindakan aniaya, bahkan menentang dan memberantasnya.
Pengembangan budaya baca buku dapat dimulai dari buku sastra, kemudian dilanjutkan ke buku-buku lain seperti biografi, sejarah, ilmu sosial dan eksakta. Kecintaan membaca memang harus start dari sastra, kemudian ditularkan kepada disiplin lainnya. Membaca dan menulis seperti saudara kembar yang tak terpisahkan, berjalan bersamaan. Anak-anak didik itu kita bimbing membaca dan kita bimbing pula mengarang, bahkan seharusnya dalam porsi yang besar di dalam kurikulum sekolah bila ita ingin mereka kelak ketika dewasa jadi manusia cendekia.
Satu hal yang boleh kita renungkan kembali bahwa sudah lama terjadi prioritas dan gengsi berkelebihan pada kelas eksakta dan ilmu sosial, serta mengucilkan kelas bahasa dan sastra. Sebagai akibatnya dapat kita amati bahwa budaya baca bangsa kita termasuk paling rabun di dunia dan budaya menulisnya pun lumpuh pula.
Tujuan dari diskusi ini diantaranya adalah untuk menumbuhkan kesenangan dan kegemaran berapresiasi sastra, menulis dan membaca bagi para pendidik. Rasa senang dan suka memasuki puisi, cerpen, novel dan drama akan mempertinggi kegemaran yang semoga malah jadi kecanduan dalam arti positif dan dinamis, sehingga di luar tugas mengajar pun para guru akan memperkaya batin dengan membaca lebih banyak karya sastra, menonton drama, mengikuti diskusi sastra dan sebagainya dalam mengisi waktu senggangnya. Dalam jangka panjang kesenangan dan kegemaran ini mudah-mudahan diteruskan pada siswa-siswa di kelas, sehingga apresiasi sastra dan budaya baca mereka meningkat, serta kemampuan menulisnya berkembang.

B. UNSUR-UNSUR KARYASASTRA
Tidak ada cara yang lebih baik mengapresiasi novel dan cerpen selain dengan sebanyak-banyaknya membaca novel dan cerpen; pengetahuan atas unsur – unsur intrinsik novel dan cerpen hanya diperlukan sebagai pengantar ke arah pengoptimalan cara baca kita terhadap kedua genre kesusastraan tersebut. Unsur – unsur intrinsik yang sangat penting untuk diketahui adalah: tema, karakterisasi, plot, setting, dan gaya.

1. TEMA
Tema adalah ide sebuah cerita. Pada saat menulis cerita pengarang bukan sekedar ingin bercerita tetapi juga menyampaikan sesuatu kepada pembacanya. Sesuatu yang disampaikan itu dapat berupa masalah kehidupan, pandangan hidupnya atau penilaiannya terhadap kehidupan. Pada karya yang berhasil, tema tersembunyi dalam tindakan – tindakan, pikiran – pikiran dan ucapan – ucapan karakter (tokoh) yang diciptakannya.
Tema tidak perlu selalu berwujud ajaran moral seperti seringkali kita temukan pada fabel atau cerita – cerita lama tetapi bisa semata – mata berwujud pengamatan, kesimpulan, atau sekedar bahan mentah (raw material) pada pengamatan pengarang atas kehidupan. Pengarang bisa mengemukakan satu masalah kehidupan saja. Misalnya, hubungan percintaan sepasang manusia.
Tema dalam karya – karya besar novel modern seringkali sederhana saja. Jika kita membaca Dr Zhivago, karya pengarang besar Rusia. Boris Pasternak, misalnya, temanya adalah percintaan yang unik antara Zhivago dan Larissa; perjalanan kisah – kasih yang umum itu dibingkai oleh suatu setting peristiwa besar, yaitu revolusi Rusia. Tema yang sama dapat kita temukan dalam Pertempuran Penghabisan (Farewell to Arms) karya pengarang Amerika, Ernest Hemingway. Hanya saja dalam novel yang disebut terakhir settingnya Perang Dunia I. Pada kedua novel yang mengantarkan kedua pengarangnya meraih hadiah Nobel tersebut, sebagai pembaca kita dilibatkan ke dalam “konflik dalam” dan “konflik luar” karakter – karakter utama novel tersebut di tengah – tengah peristiwa –peristiwa besar di luar, dan yang mempengaruhi kehidupan pribadi mereka.
Dalam sebagian novel yang akan kita bahas, kita melihat Ahmad Tohari, memberi setting novelnya, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, peristiwa – peristiwa di sekitar permberontakan Gestapu/PKI; sementara Mangunwijaya memilih setting novelnya, Burung-Burung Manyar, peristiwa-peristiwa luar biasa pada masa prakemerdekaan (zaman Belanda dan Jepang), masa revolusi kemerdekaan, dan masa pascakemerdekaan.

2. KARAKTERISASI
Karakterisasi adalah perwujudan atau representasi watak atau personalitas manusia dalam cerita fiksi ( novel, cerita pendek, drama). Pada novel dan cerpen modern terdapat kecenderungan untuk memberi tekanan pada perwatakan tokoh (karakter). Karakter dalam novel-novel modern biasanya kompleks, baik watak psikologisnya maupun wakatk sosialnya. Yang dimaksud watak psikologis adalah struktyur jiwa tokoh yang bersangkutan yang terkadang aneh, luar biasa, mengejutkan. Ikutilah pembukaan novel Notes from Underground atau Catatan dari Bawah Tanah karya Dostoyevsky : “I am a sick man…. I am a spiteful man. I am an anatractive man. I believe my liver is diseasead.” Membaca pembukaan  novel itu saja sudah dapat dibayangkan kira-kira kita akan mengikuti kehidupan karakter semacam apa. Watak psikologis yang dimiliki sang tokoh akan membimbingnya pada watak sosial yang dijalaninya dalm kehidupan ketika karakter yang bersangkutan bertemu, bersentuhan, bersinggungan, dan melakukan relasi sosial dengan karakter-karakter lainnya.
Pada novel-novel psikologis (Dostoyevsky dipercaya sebagai pemulanya) perhatian pengarang yang memberi penekanan  pada watak psikologis tokoh-tokohnya sangat terlihat. Di Indonesia Budi Darma, pengarang novel-novel dan cerpen-cerpen psikologis yang kuat (dalam kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington) adalah contoh yang baik dari bgaimana seorang pengarang membentuk watak psikologis karakter-karakternya. Sementara itu karya-karya Umar Kayam mengedepankan sejumlah karakter yang diangkat dari studi mendalam terhadap manusia dari lingkungan kultural yang dikenalnya dari dekat, seperti tampk dalam karakter Marno (Seribu Kunang-kunang  di Manhattan), Sri (Sri Sumarah), Tono (Musim Gugur Kembali di Connecticut), atau Lantip (Para Priyayi).
Secara teknis cra pengarang mengemukakan karakter dalam novel atau cerpennya melalui :
a)      Perbuatan si tokoh.
b)      Ucapan-ucapan si tokoh.
c)      Penggambaran fisik tokoh yang bersangkutan.
d)     Pikiran-pikiran si tokoh.
e)      Keterangan langsung si pengarang.
Dalam penulisan cerpen cara yang satu biasanya lebih ditonjolkan dari cara yang lain, sedangkan dalam novel kelima cara digunakan dengan optimal.

3. PLOT
Plot adalah rencana atau cerita utama suatu karya sastra (novel, drama, cerpen atau puisi). Plot disebut pula struktur naratif. Dalam sejarah kritik kesusastraan pengertin tentang plot telah bnyak mengundang perdebatan. Dalam Poetics, Aristoteles menekankan pentingnya plot dan menyebutnya sebagai “jiwa” (soul) dari sutu tragedi.
Apa yang disebut plot dalam cerita pada dasarnya sulit dicari. Ia tersembunyi di balik jalannya cerita. Namun jalan cerita (narasi) bukanlah plot. Narasi hanyalah  manifestasi atau bentuk jasmaniah plot. Menurut E.M. Foster, dalam Aspects of the Novel, plot membutuhkan suatu level pengorganisasian naratif yng sangat tinggi daripada yang misalnya biasa diperlukan dalam cerita-cerita fabel. Jalan cerita, menurut Foster adalah peristiwa-peristiwa naratif yng disusun di dalam rangkaian waktu peristiwa-peristiwa itu (“narrative of events arranged in their time-sequence”) tempat plot mengorganisasikan peristiwa-peristiwa itu dalam kerangka pengertian hubungan sebab akibat (“sense of causality”).
Dengan demikian plot dan narasi memiliki pengertian yang berbeda meskipun terkadang kedua pengertian tersebut dikacaukan. Jalan cerita tau narasi memuat peristiwa-peristiwa dan plot menggerakkan peristiwa-peristiwa tersebut. Jika Aristoteles menyebut plot sebagai  jiwa dari suatu tragedi, kita dapat mengatakan bahwa plot adalah jiwa dari suatu narasi.
Narasi mengandung perkembngan peristiwa di dalamnya dan yang menyebabkan perkembangan peristiwa tersebut adalah konflik. Dengan demikian, intisari plot adalah konflik. Konflik dalam novel atau cerpen tak bisa diberikan begitu saja dan mesti ada dasarnya. Karena itulah plot sering dikupas menjadi elemen-elemen sebagai berikut :
1)      Pengenalan.
2)      Timbulnya konflik.
3)      Puncak konflik.
4)      Akhir konflik (klimaks atau antiklimaks).

4. SETTING
Setting adalah bingkai (frame) waktu, peristiwa atau lokasi tempat narasi (jalan cerita) berlangsung. Dalam novel dan cerpen modern, setting disusun pengarangnya menjadi unsur narasi yang penting. Dalam sebuah narasi, setting berjalin-berkelindan dengn tema, karakterisasi, dan plot. Bagi sejumlah pengarang, susunan dan prilaku karakter yang ia ciptakan bergantung pada lingkungan tempat karakter itu berada dan diperlkukan sama pentingnya dengan personalitas karakter itu. Sebagai contoh, setting bagi Emila Zola, novelis dan kritikus Prancis pendiri gerakan naturalis, merupkan bagian sangat penting karena di percaya bahwa lingkungan (environment) menentukan karakter seseorang. Pandangannya terbukti antara lain dalam novelnya, Theresa. Kewbetulan pada masa yang sama dalam kriminologi berkembang “mazhab lingkungan” yang beranggapan bahwa lingkungan sosial berpengaruh besar terhadap menjadi jahat atau saleh seseorang. Teori ini lahir kritik atas teori Lambrosso di Italia yang beranggapan bahwa watak jahat seseorang ada hubungannya dengan hereditas genetik (diturunkan secara genetik) dan bahwa ciri-ciri orang jahat dapat dilihat dari bentuk-bentuk fisiknya. Tentu saja menerapkan teori ini pada masa sekarang akan banyak menyinggung perasaan orang meskipun para penulis naskah dan juru gambar masih sering merujuk pendapatnya untuk melukiskan tokoh-tokoh jahat dalam film-film aksi (mafia, western, silat) dan kartun.
Setting juga menunjukkan aspek-aspek yang lebih rinci dari waktu, perisrtiwa atau loksi. Jika bicara tentang tempat, misalnya, maka mestilah menunjukkan pula anasir lain yang hakiki dari tempat tersebut, seperti cara berpikir rakyatnya, kegiatan mereka, kekhasan mereka atau cara hidup mereka, dan sebagainya. Membaca karya-karya R.K. Narayan, novelis dan cerpenis India, kita akan dipertemukan dengan pengetahuan mendalam pengarang tersebut terhadap kotanya (yang ia samarkan dengan nama “Maguldi”). Bukan itu saja, Graham Greene, novelis Inggris, mengaku bahwa ia mengenal India karena ia membaca kary-karya Narayan. Ahmad Tohari lewat Ronggeng Dukuh Paruk dengan berhasil melukiskan prototype desa kecil di Jawa, Pramoedya dalam Arus Balik merekonstruksi kembali kota Belambangan abad ke-15 dengan memikat, karya-karya Eiji Yoshikawa khususnya Taiko, menyuguhkan setting kerajaan-kerajaan Jepang pada abad yang sama dengan tak kalah memikat pula, dan setting yang dipilih Budi Darma dalam kumpulan cerpennya yang telah disebut di muka sangat mendukungkarkter-karakter kesepian yang diciptakannya.
Dalam novel dan cerpen yang berhasil, setting terintegrasi (menyatu) dengan tema, karkterisasi, gaya, maupun kaitan filosofis kedua karya sastra itu dengan realitas. Novel atau cerpen dengan setting perang misalnya, dapat berbicara tentang persolan-persoalan yang lebih spesifik seperti dendam, desersi, kebencian, pengungsian, pengkhianatan, romantisme perjalanan, kepahlawanan, dan sebagainya. Oleh sebab itulah, mencoba-coba mengubah setting Perang Dunia I dalam Pertempuran Penghabisan akan menyebabkn novel tersebut kehilangan kestuannya, demikian juga jika setting suasana pertempuran sejumlah cerpen Trisnoyuwono diganti dengan setting lain, akibat yang sama akan terjadi jika kita mengubah setting “serb Betawi” yang riuh dalam cerpen-cerpen S.M. Ardan dengan setting keramaian Pasar Bringharjo, Yogyakarta.
Menjadi jelas bahwa pemilihan setting dapat membentuk tema tertentu atau plot tertentu. Oleh krena alasan itu Jakob Sumardjo dan Saini KM  memperluas pengertian setting menjadi tempat tertentu, daerah tertentu, orang-orng tertentu, dengan watak-watak tertentu akibat situasi lingkungan atau zaman tertentu, cara hidup tertentu, dan cara berpikir tertentu.

5. GAYA
Dalam buku-buku pelajaran kesusastraan di Indonesia sering disebut-sebut tentang gaya yang lazimnya dikupas dalam judul “Gaya Bahasa”, lengkap dengan menyebutkan contoh penggunaan gayaa (bahasa) itu seperti metafora, personifikasi, peyoratif, amelioratif, totem pro parte, asosiasi, hiperbolisme, dan sebgainya. Pembicaraan tentang gaya bahasa biasanya kerap dilakukan ketika membahas karya-karya sastrawan Indonesia masa Pujangga Baru dan Balai Pustaka. Memasuki periode 45 dan sesudahnya memperbincangkan “gaya” dalam pengertian “gaya bahasa” menjadi tidak cukup memadai. Pengertian gaya telah berkembang menjadi sangat luas meliputi bagaimana si pengarang menggunakan kalimat, dialog, detail, dan bagaimana cara ia memandang persoalan, dan sebagainya.
Gaya atau style (bersal dari bahasa Yunani, stilus) dalam kesusastraan berarti cara berekspresi yang lain daripada yang lain (a distinctive manner of exspression) yang membedakan  satu pengarang dengan pengarang lainnya meskipun menjadi sesuatu yang biasa pula manakala kita menemukan keserupaan gaya antara satu pengarang dengan satu atau banyak pengarang lainnya.
Dalam penggunaan kalimat ada pengarang yang sering menyampaikan ceritanya, baik cerpen atau novel, dengan kalimat-kalimat pendek atau panjang, kompleks atau sederhana. Gabriel Garcia Marquez, dalam Tumbangnya Seorang Diktator menggunakan kalimat-kalimat panjang  dengan banyak sekali koma dan titik koma, akan cukup membuat repot pembaca sastra pemula; saki, pengaran inggris pendek–pendek, demikian pula Anton Chekov, Rudyard Kipling Idrus dan Mochtar Lubis; Guy de Maupssant, Virginia Woolf, A.A. Navis, Milan Kundera (dalam The Joke), Pramoedya, Umar Kayam, Hamsad Rangkuti, menggunakan kalimat– kalimat panjang dan pendek secara berirama; sedangkan kalimat – kalimat panjang atau pendek atau kedua–duanya sekaligus yang bertendesi filsafat dapat ditemukan antara lain pada karya– karya Iwan Simatupang. Namun, gaya bercerita karya–karya besar di dunia pada umumnya sederhana, enak dibaca, tetapi kaya dan padat.
Sifat ekonomis atau pemborosan dalam cerita juga merupakan unsur gaya. Ada pengarang yang suka memperpanjang cerita, boros dengan kalimat dan kadang-kadang  kalimat yang satu hampir sama artinya dengan kalimat yang lain. Pada sisi lain para pengarang Jepang seperti Kawabata Yasunari, Natsume Suseki, Yukio Mishima (dilakukan pula oleh sejumlah pengarang Jepang generasi sesudahnya yang besar di negeri lain seperti Kazuo Ishiguro, menggunakan pengulangan-pengulangan kalimat yang dianggap perlu secara sengaja justru untuk memperoleh efek estetika tertentu. Ada juga pengarang yang betul-betul hemat dengan kata-kata dan menggunakan kalimat yang paling perlu dan fungsional.
Yang juga menjadi ciri dari gaya seorang pengarang adalah penggunaan dialog sebagai unsur utama bercerita. Umar Kayam termsuk yang sangat efektif menggunakan kekuatan dialog dalam cerpen-cerpennya sebagaimana Ernest Hemingway juga melakukan hal yang sama dalam novel-novelnya. Baik Umar Kayam maupun Hemingway membangun karakterisasi dan suasana melalui ucapan-ucapan tokoh-tokohnya. Pengarang yang belum berpengalaman dengan teknik ini tetapi dengan keras kepala mencobanya kerap membuat jengkel pembaca dan redaktur sastra dan menjerumuskan ceritanya sendiri menjadi artifisial atau dibuat-buat.
Penggunaan detail juga merupakan gaya pengarang. Dalam Puisi di Indonesia, penyair yang sangat teliti menggunkan detail dalam baris-baris kalimatnya adalah Taufiq Ismail, Idrus dalam cerpennya, Prmoedya dalam novel, Umar Kayam dalam novel dan cerpen. Penggunaan detail ini juga digunakan Franz Kafka bahkan sejak awal kalimat novelnya seperti dalam kutipan pembukaan The Trial berikut ini : “Someone must have been telling lies about Joseph K., for without having done anything wrong he was arrested one fine morning.
Penggunaan kata-kata, baik yang kasar, halus, spontan, terjaga atau konvensional, merupakan ciri dari gaya seorang pengarang pula. Penyair Sapardi Djoko Damono  dan Saini KM terkenal dengan pilihan katanya yang halus dan konvensional. Puisi-puisi Taufiq Ismail dan Gunawan Muhamad, novel-novel Pramoedya dan Budi Darma, cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti terkenal dengan kata-katanya yang terjaga.

C. KESIMPULAN
Agar seseorang dapat menulis karya sastra paling tidak harus memahami unsur-unsur karya sastra yang mencakup :  tema, karakterisasi, plot, setting, dan gaya. Selain itu sebagai latihan untuk mempertajam dan memperluas wawasan, maka harus rajin membaca tulisan-tulisan sastra hasil karya orang lain.

sumber: http://jahidinjayawinata61.wordpress.com/2010/09/02/menulis-karya-sastra/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar