MENULIS KARYASASTRA
Oleh : Drs. JAHIDIN, M.Pd.
(Kepala SLB Muhammadiyah Banjarsari Ciamis)
A. PENDAHULUAN
Menulis karya sastra merupakan salah satu materi pokok dalam
pelajaran Bahasa Indonesia di setiap sekolah, tak terkecuali di Sekolah
Luar Biasa. Oleh karena itulah, para guru yang mengajarkan pelajaran
Bahasa Indonesia sudah semestinya memahami dan menguasai
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam penulisan karya sastra baik itu
cerpen, novel, derama, maupun puisi. Adanya pelajaran sastra di sekolah
tentu bukan sesuatu yang main-main, tetapi memiliki kepentingan yang
sangat mendasar bagi kehidupan setiap orang. Yakni untuk membentuk
kepribadian, mempertajam kepekaan terhadap lingkungan, menanamkan sikap
estetika, serta dapat direalisasikan sebagai masukan dan kontrol
terhadap kehidupan sosial. Jadi karya sastra merupakan suatu hal yang
sangat penting untuk dijadikan bahan pembelajaran di sekolah.
Seorang guru bahasa dan sastra
Indonesia paling tidak harus menguasai unsur-unsur pokok yang terdapat
dalam karya sastra, sehingga ia mampu memberi pelajaran tentang menulis
sastra kepada anak didiknya. Atas dasar pertimbangan itulah kiranya
sangat tepat Kelompok Kerja Guru Pendidikan Luar Biasa di lingkungan
Gugus 27 SLB Kabupaten Ciamis, memasukkan materi Menulis Karya Sastra sebagai salah satu bahasan dalam program kegiatan diskusinya.
Dalam kenyataan sehari-hari disinyalir bahwa nilai-nilai luhur dalam
sisem budaya seperti ketertiban, tanggung jawab, pengendalian diri,
kebersamaan, keimanan, dan lain-lainnya yang seyogyanya berporos dalam
pendidikan di sekolah, di rumah dan di masyarakat, kemudian diteladankan
oleh pendidik, orang tua, dan pemuka masyarakat serta dibaca dalam
karya-karya sastra, ternyata belum berlangsung sepenuhnya seperti yang
diharapkan bersama. Padahal kita ketahui bahwa karya-karya sastra
merupakan sari dari pengalaman batin bangsa, suka-dudkanya, pencapaian
dan kegagalannya, keberanian dan ketakutannya, kegagahan dan
kebopengannya, kejujuran dan kekhianatannya, serta catatan setia
perjalana sejarahnya. Semua itu ditemukan dalam bentuk yang estetik,
indah, menyentuh perasaan dan memberikan kearifan hidup bagi pembacanya.
Apabila kekayaan sastra tersebut, yang berbentuk puisi, cerpen, novel
dan drama dibaca, dihayati dan didalami, maka berlangsunglah
penghalusan budi, pengayaan pengalaman dan perluasan wawasan terhadap
kehidupan. Pembaca sastra ini menjadi toleran terhadap masyarakatnya,
bersimpati pada manusia dan makhluk serta alam sekitarnya. Dia menjadi
arif dan cinta pada kehidupan, berempati pada penderitaan manusia dan
sangat sensitif serta mudah diajak untuk beramal saleh pada masyarakat.
Dia akan benci pada setiap kekerasan, tidak akan sudi ikut serta dalam
tindakan aniaya, bahkan menentang dan memberantasnya.
Pengembangan budaya baca buku dapat dimulai dari buku sastra,
kemudian dilanjutkan ke buku-buku lain seperti biografi, sejarah, ilmu
sosial dan eksakta. Kecintaan membaca memang harus start dari sastra,
kemudian ditularkan kepada disiplin lainnya. Membaca dan menulis seperti
saudara kembar yang tak terpisahkan, berjalan bersamaan. Anak-anak
didik itu kita bimbing membaca dan kita bimbing pula mengarang, bahkan
seharusnya dalam porsi yang besar di dalam kurikulum sekolah bila ita
ingin mereka kelak ketika dewasa jadi manusia cendekia.
Satu hal yang boleh kita renungkan kembali bahwa sudah lama terjadi
prioritas dan gengsi berkelebihan pada kelas eksakta dan ilmu sosial,
serta mengucilkan kelas bahasa dan sastra. Sebagai akibatnya dapat kita
amati bahwa budaya baca bangsa kita termasuk paling rabun di dunia dan
budaya menulisnya pun lumpuh pula.
Tujuan dari diskusi ini diantaranya adalah untuk menumbuhkan
kesenangan dan kegemaran berapresiasi sastra, menulis dan membaca bagi
para pendidik. Rasa senang dan suka memasuki puisi, cerpen, novel dan
drama akan mempertinggi kegemaran yang semoga malah jadi kecanduan dalam
arti positif dan dinamis, sehingga di luar tugas mengajar pun para guru
akan memperkaya batin dengan membaca lebih banyak karya sastra,
menonton drama, mengikuti diskusi sastra dan sebagainya dalam mengisi
waktu senggangnya. Dalam jangka panjang kesenangan dan kegemaran ini
mudah-mudahan diteruskan pada siswa-siswa di kelas, sehingga apresiasi
sastra dan budaya baca mereka meningkat, serta kemampuan menulisnya
berkembang.
B. UNSUR-UNSUR KARYASASTRA
Tidak ada cara yang lebih baik mengapresiasi novel dan cerpen selain
dengan sebanyak-banyaknya membaca novel dan cerpen; pengetahuan atas
unsur – unsur intrinsik novel dan cerpen hanya diperlukan sebagai
pengantar ke arah pengoptimalan cara baca kita terhadap kedua genre
kesusastraan tersebut. Unsur – unsur intrinsik yang sangat penting untuk
diketahui adalah: tema, karakterisasi, plot, setting, dan gaya.
1. TEMA
Tema adalah ide sebuah cerita. Pada saat menulis cerita pengarang
bukan sekedar ingin bercerita tetapi juga menyampaikan sesuatu kepada
pembacanya. Sesuatu yang disampaikan itu dapat berupa masalah
kehidupan, pandangan hidupnya atau penilaiannya terhadap kehidupan. Pada
karya yang berhasil, tema tersembunyi dalam tindakan – tindakan,
pikiran – pikiran dan ucapan – ucapan karakter (tokoh) yang
diciptakannya.
Tema tidak perlu selalu berwujud ajaran moral seperti seringkali kita
temukan pada fabel atau cerita – cerita lama tetapi bisa semata – mata
berwujud pengamatan, kesimpulan, atau sekedar bahan mentah (raw material)
pada pengamatan pengarang atas kehidupan. Pengarang bisa mengemukakan
satu masalah kehidupan saja. Misalnya, hubungan percintaan sepasang
manusia.
Tema dalam karya – karya besar novel modern seringkali sederhana saja. Jika kita membaca Dr Zhivago, karya
pengarang besar Rusia. Boris Pasternak, misalnya, temanya adalah
percintaan yang unik antara Zhivago dan Larissa; perjalanan kisah –
kasih yang umum itu dibingkai oleh suatu setting peristiwa besar, yaitu revolusi Rusia. Tema yang sama dapat kita temukan dalam Pertempuran Penghabisan (Farewell to Arms) karya
pengarang Amerika, Ernest Hemingway. Hanya saja dalam novel yang
disebut terakhir settingnya Perang Dunia I. Pada kedua novel yang
mengantarkan kedua pengarangnya meraih hadiah Nobel tersebut, sebagai
pembaca kita dilibatkan ke dalam “konflik dalam” dan “konflik luar”
karakter – karakter utama novel tersebut di tengah – tengah peristiwa
–peristiwa besar di luar, dan yang mempengaruhi kehidupan pribadi
mereka.
Dalam sebagian novel yang akan kita bahas, kita melihat Ahmad Tohari, memberi setting novelnya, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, peristiwa – peristiwa di sekitar permberontakan Gestapu/PKI; sementara Mangunwijaya memilih setting novelnya, Burung-Burung Manyar, peristiwa-peristiwa
luar biasa pada masa prakemerdekaan (zaman Belanda dan Jepang), masa
revolusi kemerdekaan, dan masa pascakemerdekaan.
2. KARAKTERISASI
Karakterisasi adalah perwujudan atau representasi watak atau
personalitas manusia dalam cerita fiksi ( novel, cerita pendek, drama).
Pada novel dan cerpen modern terdapat kecenderungan untuk memberi
tekanan pada perwatakan tokoh (karakter). Karakter dalam novel-novel
modern biasanya kompleks, baik watak psikologisnya maupun wakatk
sosialnya. Yang dimaksud watak psikologis adalah struktyur jiwa tokoh
yang bersangkutan yang terkadang aneh, luar biasa, mengejutkan. Ikutilah
pembukaan novel Notes from Underground atau Catatan dari Bawah Tanah karya Dostoyevsky : “I am a sick man…. I am a spiteful man. I am an anatractive man. I believe my liver is diseasead.” Membaca
pembukaan novel itu saja sudah dapat dibayangkan kira-kira kita akan
mengikuti kehidupan karakter semacam apa. Watak psikologis yang dimiliki
sang tokoh akan membimbingnya pada watak sosial yang dijalaninya dalm
kehidupan ketika karakter yang bersangkutan bertemu, bersentuhan,
bersinggungan, dan melakukan relasi sosial dengan karakter-karakter
lainnya.
Pada novel-novel psikologis (Dostoyevsky dipercaya sebagai pemulanya)
perhatian pengarang yang memberi penekanan pada watak psikologis
tokoh-tokohnya sangat terlihat. Di Indonesia Budi Darma, pengarang
novel-novel dan cerpen-cerpen psikologis yang kuat (dalam kumpulan
cerpen Orang-orang Bloomington) adalah contoh yang baik dari
bgaimana seorang pengarang membentuk watak psikologis
karakter-karakternya. Sementara itu karya-karya Umar Kayam mengedepankan
sejumlah karakter yang diangkat dari studi mendalam terhadap manusia
dari lingkungan kultural yang dikenalnya dari dekat, seperti tampk dalam
karakter Marno (Seribu Kunang-kunang di Manhattan), Sri (Sri Sumarah), Tono (Musim Gugur Kembali di Connecticut), atau Lantip (Para Priyayi).
Secara teknis cra pengarang mengemukakan karakter dalam novel atau cerpennya melalui :
a) Perbuatan si tokoh.
b) Ucapan-ucapan si tokoh.
c) Penggambaran fisik tokoh yang bersangkutan.
d) Pikiran-pikiran si tokoh.
e) Keterangan langsung si pengarang.
Dalam penulisan cerpen cara yang satu biasanya lebih ditonjolkan dari
cara yang lain, sedangkan dalam novel kelima cara digunakan dengan
optimal.
3. PLOT
Plot adalah rencana atau cerita utama suatu karya sastra (novel,
drama, cerpen atau puisi). Plot disebut pula struktur naratif. Dalam
sejarah kritik kesusastraan pengertin tentang plot telah bnyak
mengundang perdebatan. Dalam Poetics, Aristoteles menekankan pentingnya plot dan menyebutnya sebagai “jiwa” (soul) dari sutu tragedi.
Apa yang disebut plot dalam cerita pada dasarnya sulit dicari. Ia
tersembunyi di balik jalannya cerita. Namun jalan cerita (narasi)
bukanlah plot. Narasi hanyalah manifestasi atau bentuk jasmaniah plot.
Menurut E.M. Foster, dalam Aspects of the Novel, plot
membutuhkan suatu level pengorganisasian naratif yng sangat tinggi
daripada yang misalnya biasa diperlukan dalam cerita-cerita fabel. Jalan
cerita, menurut Foster adalah peristiwa-peristiwa naratif yng disusun
di dalam rangkaian waktu peristiwa-peristiwa itu (“narrative of events arranged in their time-sequence”) tempat plot mengorganisasikan peristiwa-peristiwa itu dalam kerangka pengertian hubungan sebab akibat (“sense of causality”).
Dengan demikian plot dan narasi memiliki pengertian yang berbeda
meskipun terkadang kedua pengertian tersebut dikacaukan. Jalan cerita
tau narasi memuat peristiwa-peristiwa dan plot menggerakkan
peristiwa-peristiwa tersebut. Jika Aristoteles menyebut plot sebagai
jiwa dari suatu tragedi, kita dapat mengatakan bahwa plot adalah jiwa dari suatu narasi.
Narasi mengandung perkembngan peristiwa di dalamnya dan
yang menyebabkan perkembangan peristiwa tersebut adalah konflik. Dengan
demikian, intisari plot adalah konflik. Konflik dalam novel atau cerpen
tak bisa diberikan begitu saja dan mesti ada dasarnya. Karena itulah
plot sering dikupas menjadi elemen-elemen sebagai berikut :
1) Pengenalan.
2) Timbulnya konflik.
3) Puncak konflik.
4) Akhir konflik (klimaks atau antiklimaks).
4. SETTING
Setting adalah bingkai (frame) waktu, peristiwa atau lokasi tempat narasi (jalan cerita) berlangsung. Dalam novel dan cerpen modern, setting
disusun pengarangnya menjadi unsur narasi yang penting. Dalam sebuah
narasi, setting berjalin-berkelindan dengn tema, karakterisasi, dan
plot. Bagi sejumlah pengarang, susunan dan prilaku karakter yang ia
ciptakan bergantung pada lingkungan tempat karakter itu berada dan
diperlkukan sama pentingnya dengan personalitas karakter itu. Sebagai
contoh, setting bagi Emila Zola, novelis dan kritikus Prancis
pendiri gerakan naturalis, merupkan bagian sangat penting karena di
percaya bahwa lingkungan (environment) menentukan karakter seseorang. Pandangannya terbukti antara lain dalam novelnya, Theresa.
Kewbetulan pada masa yang sama dalam kriminologi berkembang “mazhab
lingkungan” yang beranggapan bahwa lingkungan sosial berpengaruh besar
terhadap menjadi jahat atau saleh seseorang. Teori ini lahir kritik atas
teori Lambrosso di Italia yang beranggapan bahwa watak jahat seseorang
ada hubungannya dengan hereditas genetik (diturunkan secara genetik) dan
bahwa ciri-ciri orang jahat dapat dilihat dari bentuk-bentuk fisiknya.
Tentu saja menerapkan teori ini pada masa sekarang akan banyak
menyinggung perasaan orang meskipun para penulis naskah dan juru gambar
masih sering merujuk pendapatnya untuk melukiskan tokoh-tokoh jahat
dalam film-film aksi (mafia, western, silat) dan kartun.
Setting juga menunjukkan aspek-aspek yang lebih rinci dari
waktu, perisrtiwa atau loksi. Jika bicara tentang tempat, misalnya, maka
mestilah menunjukkan pula anasir lain yang hakiki dari tempat tersebut,
seperti cara berpikir rakyatnya, kegiatan mereka, kekhasan mereka atau
cara hidup mereka, dan sebagainya. Membaca karya-karya R.K. Narayan,
novelis dan cerpenis India, kita akan dipertemukan dengan pengetahuan
mendalam pengarang tersebut terhadap kotanya (yang ia samarkan dengan
nama “Maguldi”). Bukan itu saja, Graham Greene, novelis Inggris, mengaku
bahwa ia mengenal India karena ia membaca kary-karya Narayan. Ahmad
Tohari lewat Ronggeng Dukuh Paruk dengan berhasil melukiskan prototype desa kecil di Jawa, Pramoedya dalam Arus Balik merekonstruksi kembali kota Belambangan abad ke-15 dengan memikat, karya-karya Eiji Yoshikawa khususnya Taiko, menyuguhkan setting kerajaan-kerajaan Jepang pada abad yang sama dengan tak kalah memikat pula, dan setting
yang dipilih Budi Darma dalam kumpulan cerpennya yang telah disebut di
muka sangat mendukungkarkter-karakter kesepian yang diciptakannya.
Dalam novel dan cerpen yang berhasil, setting terintegrasi (menyatu)
dengan tema, karkterisasi, gaya, maupun kaitan filosofis kedua karya
sastra itu dengan realitas. Novel atau cerpen dengan setting perang
misalnya, dapat berbicara tentang persolan-persoalan yang lebih spesifik
seperti dendam, desersi, kebencian, pengungsian, pengkhianatan,
romantisme perjalanan, kepahlawanan, dan sebagainya. Oleh sebab itulah,
mencoba-coba mengubah setting Perang Dunia I dalam Pertempuran Penghabisan akan menyebabkn novel tersebut kehilangan kestuannya, demikian juga jika setting suasana pertempuran sejumlah cerpen Trisnoyuwono diganti dengan setting
lain, akibat yang sama akan terjadi jika kita mengubah setting “serb
Betawi” yang riuh dalam cerpen-cerpen S.M. Ardan dengan setting
keramaian Pasar Bringharjo, Yogyakarta.
Menjadi jelas bahwa pemilihan setting dapat membentuk tema tertentu
atau plot tertentu. Oleh krena alasan itu Jakob Sumardjo dan Saini KM
memperluas pengertian setting menjadi tempat tertentu, daerah tertentu,
orang-orng tertentu, dengan watak-watak tertentu akibat situasi
lingkungan atau zaman tertentu, cara hidup tertentu, dan cara berpikir
tertentu.
5. GAYA
Dalam buku-buku pelajaran
kesusastraan di Indonesia sering disebut-sebut tentang gaya yang
lazimnya dikupas dalam judul “Gaya Bahasa”, lengkap dengan menyebutkan
contoh penggunaan gayaa (bahasa) itu seperti metafora, personifikasi,
peyoratif, amelioratif, totem pro parte, asosiasi, hiperbolisme, dan
sebgainya. Pembicaraan tentang gaya bahasa biasanya kerap dilakukan
ketika membahas karya-karya sastrawan Indonesia masa Pujangga Baru dan
Balai Pustaka. Memasuki periode 45
dan sesudahnya memperbincangkan “gaya” dalam pengertian “gaya bahasa”
menjadi tidak cukup memadai. Pengertian gaya telah berkembang menjadi
sangat luas meliputi bagaimana si pengarang menggunakan kalimat, dialog,
detail, dan bagaimana cara ia memandang persoalan, dan sebagainya.
Gaya atau style (bersal dari bahasa Yunani, stilus) dalam
kesusastraan berarti cara berekspresi yang lain daripada yang lain (a
distinctive manner of exspression) yang membedakan satu pengarang
dengan pengarang lainnya meskipun menjadi sesuatu yang biasa pula
manakala kita menemukan keserupaan gaya antara satu pengarang dengan
satu atau banyak pengarang lainnya.
Dalam penggunaan kalimat ada pengarang yang sering menyampaikan
ceritanya, baik cerpen atau novel, dengan kalimat-kalimat pendek atau
panjang, kompleks atau sederhana. Gabriel Garcia Marquez, dalam Tumbangnya Seorang Diktator
menggunakan kalimat-kalimat panjang dengan banyak sekali koma dan
titik koma, akan cukup membuat repot pembaca sastra pemula; saki,
pengaran inggris pendek–pendek, demikian pula Anton Chekov, Rudyard
Kipling Idrus dan Mochtar Lubis; Guy de Maupssant, Virginia Woolf, A.A.
Navis, Milan Kundera (dalam The Joke), Pramoedya, Umar Kayam, Hamsad
Rangkuti, menggunakan kalimat– kalimat panjang dan pendek secara
berirama; sedangkan kalimat – kalimat panjang atau pendek atau
kedua–duanya sekaligus yang bertendesi filsafat dapat ditemukan antara
lain pada karya– karya Iwan Simatupang. Namun, gaya bercerita
karya–karya besar di dunia pada umumnya sederhana, enak dibaca, tetapi
kaya dan padat.
Sifat ekonomis atau pemborosan dalam cerita juga merupakan unsur
gaya. Ada pengarang yang suka memperpanjang cerita, boros dengan kalimat
dan kadang-kadang kalimat yang satu hampir sama artinya dengan kalimat
yang lain. Pada sisi lain para pengarang Jepang seperti Kawabata
Yasunari, Natsume Suseki, Yukio Mishima (dilakukan pula oleh sejumlah
pengarang Jepang generasi sesudahnya yang besar di negeri lain seperti
Kazuo Ishiguro, menggunakan pengulangan-pengulangan kalimat yang
dianggap perlu secara sengaja justru untuk memperoleh efek estetika
tertentu. Ada juga pengarang yang betul-betul hemat dengan kata-kata dan
menggunakan kalimat yang paling perlu dan fungsional.
Yang juga menjadi ciri dari gaya seorang pengarang adalah penggunaan dialog
sebagai unsur utama bercerita. Umar Kayam termsuk yang sangat efektif
menggunakan kekuatan dialog dalam cerpen-cerpennya sebagaimana Ernest
Hemingway juga melakukan hal yang sama dalam novel-novelnya. Baik Umar
Kayam maupun Hemingway membangun karakterisasi dan suasana melalui
ucapan-ucapan tokoh-tokohnya. Pengarang yang belum berpengalaman dengan
teknik ini tetapi dengan keras kepala mencobanya kerap membuat jengkel
pembaca dan redaktur sastra dan menjerumuskan ceritanya sendiri menjadi
artifisial atau dibuat-buat.
Penggunaan detail juga merupakan gaya pengarang. Dalam Puisi
di Indonesia, penyair yang sangat teliti menggunkan detail dalam
baris-baris kalimatnya adalah Taufiq Ismail, Idrus dalam cerpennya,
Prmoedya dalam novel, Umar Kayam dalam novel dan cerpen. Penggunaan
detail ini juga digunakan Franz Kafka bahkan sejak awal kalimat novelnya
seperti dalam kutipan pembukaan The Trial berikut ini : “Someone must have been telling lies about Joseph K., for without having done anything wrong he was arrested one fine morning.”
Penggunaan kata-kata, baik yang kasar, halus, spontan, terjaga atau
konvensional, merupakan ciri dari gaya seorang pengarang pula. Penyair
Sapardi Djoko Damono dan Saini KM terkenal dengan pilihan katanya yang
halus dan konvensional. Puisi-puisi Taufiq Ismail dan Gunawan Muhamad,
novel-novel Pramoedya dan Budi Darma, cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti
terkenal dengan kata-katanya yang terjaga.
C. KESIMPULAN
Agar seseorang dapat menulis karya sastra paling tidak harus memahami
unsur-unsur karya sastra yang mencakup : tema, karakterisasi, plot,
setting, dan gaya. Selain itu sebagai latihan untuk mempertajam
dan memperluas wawasan, maka harus rajin membaca tulisan-tulisan sastra
hasil karya orang lain.
sumber: http://jahidinjayawinata61.wordpress.com/2010/09/02/menulis-karya-sastra/