Tafsir Ayat Pidana Korupsi
A.
Definisi Korupsi
Korupsi
adalah sebuah kata yang mempunyai banyak arti. Arti kata korupsi secara harfiah
ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah.
Korupsi
dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa yang dimaksud
dengan korupsi adalah usaha memperkaya diri atau orang lain atau suatu
korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Dalam undang-undang korupsi yang berlaku di Malaysia
korupsi diartikan sebagai risywah
yang dalam bahasa Arab bermakna suap. Berbeda dengan korupsi dan suap, hadiah
sesungguhnya adalah sebuah perbuatan yang tidak melanggar. Akan tetapi dalam
hal ini perlu untuk meneliti apa sesungguhnya kriteria hadiah yang tidak
merupakan korupsi ataupun suap.[1][1]
B.
Kualifikasi Tindak Pidana Korupsi
dalam Fiqh Jinayah
Berikut ini
adalah kualifikasi mengenai tindak pidana korupsi dalam fiqh jinayah, bagaimana agar dapat memperoleh komparasi dengan
unsur-unsur korupsi yang ada dalam hukum pidana positif yang selanjutkan akan
menguraikan unsur-unsur tindak pidana (jarimah)
dalam fiqh jinayah beserta definisinya yang akan mendekatkan dengan terminologi
korupsi di masa sekarang. Beberapa jarimah tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Ghulul
(penggelapan)
b.
Risywah
(penyuapana)
c.
Ghasab
(mengambil paksa hak atau harta orang lain)
d.
Sariqah
(pencurian)
e.
Hirabah
(perampokan)
Setelah
membaca kesemua tersebut, penulis lebih cenderung untuk menafsirkan dan
membahas tentang ghulul atau
penggelapan yang mendekati dengan hal korupsi.
C.
Ayat Korupsi (Ghulul/Penggelapan)
Surat Ali
‘Imron (3) Ayat 161 :
$tBur tb%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& ¨@äótƒ 4 `tBur ö@è=øótƒ ÏNù'tƒ $yJÎ ¨@xî tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 §NèO 4’¯ûuqè? ‘@à2 <§øÿtR $¨B ôMt6|¡x. öNèdur Ÿw tbqßJn=ôàムÇÊÏÊÈ
D.
Terjemah Ayat
”Tidak mungkin seorang Rosulullah berkhianat (dalam urusan harta
rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat niscaya pada hari kiamat ia akan
datang dengan membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan
diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya dan mereka tidak
didzalimi.”
E.
Definisi Ghulul
Muhammad bin
Salim bin Sa’id Babasil al-Syafi’I mengemukakan bahwa di antara bentuk-bentuk
kemaksiatan tangan adalah al-ghulul
atau berkhianat dengan harta rampasan perang, dan hal ini termasuk ke dalam
dosa besar. Dalam kitab al-Zawajir
dijelaskan, bahwa ghulul adalah
tindakan mengkhusukan atau memisahkan yang dilakukan oleh seseorang tentara,
baik ia seorang pemimpin terhadap harta rampasan perang sebelum dibagi, tanpa
menyerahkannya terlebih dahulu kepada pemimpin untuk dibagi menjadi lima
bagian, meskipun harta yang digelapkan itu hanya sedikit.[2][2]
F.
Asbabun Nuzul
Terdapat
beberapa pendapat para ‘ulama tentang mengenai asbabun nuzul ayat ini, secara
garis besar Ibnu al-‘Arabi dalam kitabnya Ahkamul
Qur’an menyatakan ada dua hal mengenai asbabun nuzul ayat ini, yaitu :
1.
Diriwayatkan
bahwa sesungguhnya kaum munafiqin berperasangka bahwasanya Nabi membawa
beberapa harta ghanimah berupa qotifah (selendang merah dari wol) yang
hilang. Maka dengan itu turunlah ayat ini. Hal tersebut senada dengan pendapat
Imam Fahruddin Ar-Razi dalam kitabnya Mafatihul
Ghaib.
2.
Sebagian
kaum itu mengambil atau menyembunyikan harta ghanimah, atau mereka menyangka kepada Nabi. Maka turunlah ayat ini
sebagai penyanggah dari persanggahan mereka.
Fahruddin
ar-Razi itu mengatakan kata yaghulla
dalam ayat itu dengan dibaca yaghulla,
dibaca fathah ya’ dan dhummah ghain-nya. Dan, dibaca yugholla.[4][4]
Dari ayat
diatas dengan dua qiro’ah tersebut terdapat beberapa perbedaan sebab turunnya
ayat tersebut. Sebagaimana berikut:
1.
Dibaca “yaghulla” ketika ayat tersebut mencegah
atau membantah jikalau Nabi menyembunyikan ghanimah,
dan membersihkan Nabi dari sifat khianat yang tidak sesuai dengan salah satu
sifat Nabi yaitu Amanah.
2.
Dibaca “yugholla” ketika adanya sebuah indikasi
bahwsanya Nabi telah dikhianati oleh sekelompok kamu atau sahabat.
Menurut
riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Jarir dari Ibnu
Abbas, bahwa ayat ini terjadi setelah terjadinya perang Badar dan
dikumpulkannya harta rampasan maka hilanglah sehelai Qatifah, yaitu selendang bulu (wol) berwarna merah yang biasanya
dipergunakan sebagai penutup kepala di musim dingin. Maka ada yang berkata:
“mungkin Rosulullah sendiri yang mengambil untuk beliau.” Orang ini berkata
tidaklah dengan menuduh atau memburukkan. Melainkan merasa, bahwa jika beliau
yang mengambil, itu adalah hak beliau. Tetapi riwayat ini didha’ifkan oleh
beberapa ahli tafsir, dikarenakan riwayat ibnu abbas mengenai perang uhud.[5][5]
Tetapi
menurut riwayat yang dikuatkan oleh al-Kalby dan muqatil, memang sebab turun
ayat ini ialah di perang uhud itu juga. Riwayat itu berbicara bahwa
pemanah-pemanah yang dipandang salah karena meninggalkan posnya itu menyangka,
bahwa harta rampasan tidak akan dibagikan pada mereka sebagaimana di perang
badar. Dan mendengar perkataan mereka itu Nabi Muhammad berkata: “apakah kamu
sangka kami akan berbuat curang dan tidak akan membagikan kepadamu?” karena
itulah turun ayat tersebut.
Secara umum,
banyak ‘ulama selalu menghubungkan ayat ini dengan peristiwa perang Uhud pada
tahun ke 3 H. Meskipun juga terdapat riwayat lainnya yang mengindikasikan
turunnya ayat ini adalah berkaitan dengan sehelai beludru merah yang hilang
pada perang Badar.[6][6]
G.
Penafsiran
Melalui
pembahasan penafsiran kali ini, penulis mencoba menitik beratkan pembahasan ini
pada kata “Yaghulla” yang terdapat
dalam Surat Ali ‘Imron (3) ayat 161 yang mana sesuai masuk dalam unsur sebuah
tindak pidana korupsi. Di dalam ayat ini terdapat kata Yaghulla atau Ghulul yang
dapat kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti curang atau
menggelapkan. Dalam kamus Arabi arti dari Ghalla
– yaghullu – ghullan adalah seseorang mengambil sesuatu lalu dimasukkan
dengan sembunyi-sembunyi ke dalam barang yang lain.
Kemudian dari kalimat di atas,
kalimat ini dipakai untuk orang yang mendapat harta rampasan perang lalu
sebelum barang itu dibagi dengan adil oleh kepala perang, telah terlebih dahulu
disembunyikannya ke dalam penaruhannya. Sehingga barang itu tidak masuk dalam
pembagian, maka samalah keadaan itu dengan mencuri. Karena menurut peraturan
perang, harta ghanimah tersebut
dikumpulkan menjadi satu terlebih dahulu setelah perang baik besar maupun
kecil. Kemudian, kepala perang membagikan barang tersebut dengan adil, walaupun
menurut kebijaksanaan beliau barang yang di dapat oleh seseorang diserahkan
pula kepadanya untuk dimiliki sendiri. Tetapi pertimbangannya adalah harus
mendahulukan hak baitul maal (Negara) dan barang siapa yang melakukan ghulul
sama artinya dia berkhianat.[7][7]
Ketika
secara etimologis kata ghulul berasal dari kata kerja “Ghalala – Yaghlilu.” Masdar atau verbal noun-nya ada beberapa
yaitu al-ghillu, al-ghullah, al-ghalalu,
atau al-ghalil dan dari kesemuanya itu oleh Ibnu al-Manzhur mengartikan
dengan sangat kehausan dan kepanasan.[8][8]
Al-Mu’jam
al-Wasit lebih spesifik dalam mengemukakan kata ghulul yang berasal dari kata kerja “Ghalla – Yaghullu” yang memiliki arti berkhianat dalam pembagian
harta rampasan perang atau dalam harta yang lain. Ini sejalan dengan penafsiran
Ibnu al-‘Arabi yang mengatakan bahwa jika “Ghalla
– Yaghullu” dengan dibaca dlammah
huruf ghain pada fi’il mudlori’-nya maka berarti pengkhianatan secara umum, di lain
sisi juga Ibnu al-‘Arabi mengatakan jika dibaca kasrah huruf ghain-nya
maka berarti kedengkian atau busuk hati.
Setelah dibaca seksama, setidaknya
penulis al-Mu’jam al-Wasit berbeda pendapat dengan Ibnu al-Manzhur dalam
memberikan makna ghulul.
Secara terminologis, Rawas Qala’arij
dan Hamid Sadiq Qunaibi mengemukakan denfinisi ghulul dengan arti mengambil
sesuatu dan menyembunyikan hartanya.[9][9]
Abu bakar jabir al-Jara’i dalam kitabnya
menafsirkan makna ”an yaghulla” dengan
mengambil sesuatu dari barang rampasan perang secara diam-diam. Jadi,
kesimpulannya adalah ma’na ghalla
atau ghulul sama dengan pencurian
dari barang rampasan sebelum pembagian.
Menurut
al-Jazairy juga bahwa ghulul adalah
termasuk dosa besar. [10][10] sedangkan Ibnu al-‘Arabi,
mengkategorikan berkhaianat dalam ghonimah
(ghulul) tidak termasuk sariqoh,
karena sebelum ghonimah tersebut
dibagi kepada yang berhak, mereka masih mempunyai hak atas ghonimah tersebut. maka dia cukup di ta’zir. Ibnu al-‘Arabi berpendapat, ketika seseorang mengambil ghonimah dan kita mengetahuinya maka
harta itu kita tarik kmbali dan kita membenarkan akhlaqnya. Namun Auza’i,
Ahmad, Ishaq teramasuk fuqoha dan Khusen tabiin menentukan harta rampasan harus
dibakar kecuali hewan dan alat perang.
Berbicara
tentang ghulul, ibnu arabi memberikan penafsiran dengan 3 macam ma’na sebagai
berikut:
1.
Khianat
mutlak
2.
Busuk hati
(kedengkian)
3.
Khianat
dalam hal rampasan perang
Tetapi
pendapat yang paling tepat menurut Ibnu al-‘Arabi tentang ghulul adalah pendapat yang ketiga yaitu khianat dalam hal rampasan
perang.
Adapun kata
“Ghulul” dalam arti berkhianat
terhadap harta rampasan perang disebutkan dalam firman Allah Surat Ali ‘Imron
ayat 161 yang artinya, tidak mungkin seorang Rasulullah berkhianat (dalam
urusan harta rampasan perang). Barang siapa berkhianat ia akan datang membawa
apa yang dikhianatkannya itu, kemudian setiap orang akan diberi balasan yang
sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya dan mereka tidak dizalimi.
Ibnu katsir
berpendapat, bahwasanya ghulul diartikan khianat secara mutlak jika memandang
dari pembagian Ibnu al-‘Arabi. Hal ini, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir
bahwasanya ayat di atas diturunkan untuk membersihkan Nabi dari semua bentuk
khianat dalam menyampaikan amanah, pembagian ghanimah, dan yang lainnya.[11][11]
Quraisy
Syihab dalam tafsirnya Al Misbah
mengungkapkan bahwa senyatanya pengkhianatan yang disebutkan dalam surat Ali Imron ayat 161 terjadi pada
saat perang Uhud. Perang Uhud adalah suatu kejadian di mana muslimin mengalami
kekalahan. Salah satu faktor kekalahan tersebut disinyalir adalah kerakusan
sahabat yang kemudian menghambur ke bawah gunung untuk mengambil harta rampasan
perang.
Dengan
tindakannya ini, mereka berarti juga telah mengkhianati komando rasulullah
untuk tetap berada di atas gunung apapun yang terjadi. Strategi ini adalah
taktik utama rasulullah untuk memenangkan perang dengan jumlah pasukan dan
logistik yang tidak seimbang antar kedua belah pihak. Pada dasarnya, selain
dilatarbelakangi rasa rakus, mereka juga khawatir Rasulullah tidak akan
memberikan pembagian harta rampasan perang dengan adil kepada para prajurit.
Lebih lanjut Quraisy menambahkan bahwa padanan kata dari al-ghulul di
sini adalah lafadz al fadhihah, yakni melakukan sesuatu yang mencemarkan
nama baik dan memalukan.
Sebenarnya,
kasus yang terjadi mengenai penggelapan ketika mengacu pada hadits-hadits yang
ada bukanlah hanya sebatas dalam lingkup harta rampasan perang saja tetapi juga
pada sumber-sumber pendapatan yang lainnya juga. Misalnya, dalam kasus
pemanggilan kembali Mu’adz bin Jabal yang diutus ke Yaman bersama Abu Musa
al-Asy’ary oleh Rosulullah. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa kejadian ini terjadi
pada tahun 10 H. Keduanya di utus ke Yaman
untuk menjadi kepala daerah sekaligus guru di San’a.[12][12] setelah Mu’adz berangkat dan berada
dalam perjalanan, Rosulullah memanggil Mu’adz untuk pulang kembali. Ketika
menghadap Rosulullah, ia diberi pesan oleh Rosul agar tidak melakukan korupsi
terhadap apapun selama berada di Yaman.[13][13]
Berdasarkan
hadits di atas inilah, ruang lingkup ghulul
bukan hanya terbatas pada harta rampasan perang semata, melainkan juga mencakup
harta-harta yang lainnya juga. Seperti, harta zakat dan jizyah. Menurut
penulis, hadits ini dapat juga mengisyaratkan bahwasanya Mu’adz sebagai kepala
Negara atau pejabat pemerintahan dilarang untuk melakukan sebuah tindak pidana
korupsi yang dalam hal ini adalah penggelapan dan pejabat dilarang untuk
melakukan pungutan-pungutan liar dari berbagai sumber pendapatan Negara.
Bahkan
menurut Syamsul Anwar dalam jurnal kajian Islam Interdisipliner volume 4 no. 1
bulan Jnuari-Juni 2005 yang terdapat pada halaman 121 mengatakan, ghulul dapat lebih luas lagi mencakup
semua kekayaan public yang diambil oleh seorang pejabat secara tidak sah, yaitu
tanpa berdasarkan ketentuan yang berlaku.[14][14]
Ayat ini
juga menegaskan bahwa seorang Nabi (terlebih Nabi Muhammad) tidak akan
melakukan suatu penghianatan, sebab hal tersebut bertentangan dengan sifat
amanah Nabi. Dengan demikian, khianat dalam ayat ini juga berarti
khianat secara umum, semisal dalam mengemban amanah publik (misalnya jabatan)
atau amanah antar individu (misalnya dititipikan barang atau pesan untuk
disampaikan pada orang lain).
Menanggapi
perihal firman-Nya: pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu, dipahami oleh beberapa ‘ulama dengan arti membawa dosa
akibat perbuatan pengkhianatannya.
Sebagian ‘ulama lain termasuk Imam
as-Suyuti dan Imam al-Jazairy memahaminya dalam arti hakikatnya, yakni
benar-benar memikul dipunggungnya apa yang dia ambil secara khianat. Ia sangat
tersiksa dengan bebannya itu. Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Abu
Hurirah yaitu, ketika ia dipermalukan karena mata semua tertuju kepadanya,
tidak ubahnya dengan seseorang yang memikul seekor unta yang mengeluarkan suara
atau seekor kambing.
Ibnu Katsir
juga memberikan pendapat untuk memahami “Barangsiapa
yang berkhianat niscaya pada hari kiamat ia akan datang dengan membawa apa yang
dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna
sesuai dengan apa yang dilakukannya dan mereka tidak didzalimi.” Yaitu “Tahdid Syadid (hukuman yang sangat berat”
dan “Wa’id Akid (ancaman balasan yang
sangat kuat.” Ibnu Katsir memberikan pendapat ini sejalan dengan larangan
banyak hadits yang melarang untuk melakukan ghulul.
Kata tsumma yang terdapat pada Surat Ali ‘Imron (3) ayat 161 tersebut,
menurut Quraish Shihab diterjemahkan dengan kata “kemudian”, ini seakan-akan
member isyarat betapa jauh nilai barang yang ia sembunyikan atau dikhianatinya
dengan balasan yang diterimanya. Quraish Shihab menggambarkan seperti seseorang
yang meminum seteguk air, tetapi akibatnya membinasakan dia sendiri, ini karena
yang telah ia minum adalah mengandung setetes racun.
Dari beberapa penafsiran yang
terdapat di atas, baik secara etimologi maupun terminologi dapat kita simpulkan
bahwasanya istilah ghulul diambil
atau dilandaskan pada Surat Ali Imron (3) ayat 161. Dimana pada mulanya hanya
terbatas pada tindakan pengambilann penggelapan, atau berlaku curang, dan
khianat pada harta rampasan perang. Akan tetapi, dalam perkembangan yang ada
yaitu menjadikan tindakan curang dan khianat terhadap harta-harta yang lainnya,
seperti tindakan penggelapan terhadap baitul
maal, harta bersama milik kaum muslimin, harta bersama dalam suatu kerja
bisnis, harta Negara, harta zakat, dan lain-lain.
Dengan demikian yang terjadi, ghulul
atau penggelapan terhadap harta rampasan perang, zakat, jizyah, dan sebagainya
pada masa Nabi memang tidak dikriminalisasikan. Hanya pada zaman Nabi secara
berulang-ulang di ancam dengan api neraka atau hal yang berbau ukhrowi dengan
tetap mengedepankan pendidikan moral. Seperti ketika Nabi menolak dan tidak
berkenan menyalati pelaku ghulul. Di
hadits lain Nabi bahkan bersabda lebih tegas bahwasanya sedekah para pelaku
penggelapan tidak akan diterima oleh Allah seperti halnya ditolaknya ibadah
shalat tanpa wudlu.[15][15]
Daftar
Pustaka
Babashil,
Muhammad bin Salim bin Sa’id al-Syafi’I. Tth. Is’ad al-Rafiq wa Bughiyyah al-Sadiq Syarh Matn Sulam al-Taufiq ila
Mahabbatillah ‘ala al-Tahqiq. Indonesia: Ttp. Daru Ihya’ al-kutub
al-‘Arabiyyah.
Hamka. 2003.
Tafsir al-Azhar juz III. Jakarta:
Pustaka Panjimas.
Hamzah, Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional dan Internasional.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ibnu Katsir,
al-Bidayah wa al-Nihayah. Tth.
Beirut: Maktabah al-Ma’arif.
Ibnu Manzur,
Abul Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Makram bin al-Afriqi al-Mishri. Tth. Lisan al-‘Arab. Beirut: Daru Sadir.
Irfan,
Muhammad Nurul. 2011. Korupsi dalam Hukum
Pidana Islam. Jakarta: AMZAH.
Ibnu Katsir.
1991. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim.
Beirut: ad-Dar al-Fikr.
Ibnu
al-‘Arabi. Tth. Ahkam al-Qur’an.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Imam
as-Suyuti. 1983. Ad-dur al-Mantsur fi
Tafsir al-Ma’tsur. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Jazairy
Abu Bakar Jabir. 1995. Aisaru at-Tafasir
li Kalami al-‘Aliy al-Kabir. Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam.
Muhammad
Az-Zamakhsyary, Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin Muhammad. 1995. al-Kasysyaf. Beirut: Dar al-Kutub
Ilmiah.
Muhammad
Rawas Qala’arji dan Hamid Sadiq Qunaibi. 1985. Mu’jamu Lughah al-Fuqoha’. Beirut: Dar an-Nafis.
al-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin
Murri. Tth. Al-Minhaj fi Syarh Sahih
Muslim ibn al-Hajjaj. Riyadh: Bait al-afkar al-Dauliyyah.
Ar-Razi,
Fahruddin. 1992. Tafsir Kabir au
Mafatihul Ghaib. Kairo: Dar al-Fad al-‘Arobiy.
Syamsul
Anwar. 2005. Sejarah Korupsi dan
Perlawanan Terhadapnya di Zaman Awal Islam: Perspektif Studi Hadits, dalam Hermenia, Jurnal Kajian Islam
Interdisipliner. Vol. 4.No. 1. Yogyakarta: PPS UIN Suka.
Shihab,
Quraish. 2000. Tafsir al-Mishbah, Pesan
Kesan dan Keserasian al-Qur’an Volume 2. Jakarta: Penerbit Lentera Hati.
al-Tirmidzi,
Abu Isa Muhammad bin Surah. Tth. Sunan
al-Tirmidzi. Indonesia: Maktabah
Dahlan.
[1][1] Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Perkasa, 2005), hal. 5.
[2][2]
Muhammad bin Salim bin Sa’id Babashil al-Syafi’I, Is’ad al-Rafiq wa Bughiyyah al-Sadiq Syarh Matn Sulam al-Taufiq ila
Mahabbatillah ‘ala al-Tahqiq, (Indonesia, ttp, Dar Ihya al-Kutub
al-‘Arabiyyah, tth), jilid 2, hlm. 98.
[3][3] Ibnu Al-‘Arabi, Ahkamul Qur’an, (Beirut:Dar al-kutub
ilmiah, tth), jilid 1, hlm. 391. Lihat juga di Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, (Beirut: Dar
al-fikr, 1991), juz 1, hlm. 157.
[4][4] Fahruddin ar-Razi, Tafsir Kabir au mafatihul ghaib, (Dar
al-fad al-arabi, 1992), juz 4, hlm. 536. Lihat juga di Imam as-Suyuti, ad-Dur al-Mantsur, (Beirut: dar al-fikr,
1983), jilid 2, hlm. 361.
[5][5] Prof. Dr. Hamka, Tafsir
al-Azhar, (Pustaka Panjimas, 2003), juz III-IV, hlm. 180.
[6][6]
Berkaitan dengan masalah ini, Syamsul Anwar, guru besar dalam bidang ushul fiqh
Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dalam tulisannya Sejarah
Korupsi dan Perlawanan Terhadapnya di Zaman Awal Islam: “Perspekstif Studi
Hadits,” yang dimuat dalam Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, vol.
4, no. 1, Januari-Juni 2005, hlm. 112-113, mempertanyakan apakah hilangnya
beludru merah di Perang Badar itu benar? Al-Tirmidzi menyatakan bahwa hadits
yang menceritakan masalah ini sebagai hadits hasan. Syamsul Anwar mengemukakan
bahwa penelitian al-Tirmidzi bukanlah final, tetapi dapat diuji ulang bila kita
melihat sanad dari riwayat tersebut. Ia menjelaskan kembali bahwa seluruh versi
dari riwayat tersebut dilaporkan melalui Khusaif bin Abdurrahman, dan tidak ada
orang lain yang meriwayatkan hadits ini dari sumber (guru) Khusaif sehingga
riwayat Khusaif ini tidak memiliki mutaba’ah
(tidak diikuti riwayat lain yang mendukung dan menguatkan). Akhirnya,
Syamsul Anwar menyimpulkan bahwa riwayat tentang hilangnya beludru merah di Perang
Badar ini tidak ada mutaba’ah-nya maka
harus ditolak. Jika hilangnya beludru merah di Perang Badar sebagai latar
belakang turunnya surat Ali ‘Imron (3) ayat 161, hal tersebut tidak sesuai
dengan konteks ayat itu sendiri dalam Al-Qur’an yang menceritakan tentang
perang Uhud.
[7][7] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Pustaka Panjimas,
2003), Juz III-IV, hlm.179.
[8][8] Abul Fadhal Jamaluddin
Muhammad bin Makram bin Manshur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Daru
Sadir, tth), jilid 11, hlm. 499.
[9][9]
Muhammad Rawas Qala’arij dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, (Beirut: Dar al-Nafis, 1985), hlm. 334.
[10][10] Abu Bakar Jabir
al-Jazairy, Aisaru at-Tafasir, (Dar
al-Kutub al-Ilmiah, 1995), jild 1, hlm. 405.
[11][11] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, (Beirut: Dar
al-fikr, 1991), juz 1, hlm. 517. Lihat juga Imam az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, (dar al-kutub ilmiah,
1995), juz 1, hlm. 424.
[12][12] Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut:
Maktabah al-Ma’arif, tth), jilid 6, hlm. 307.
[13][13]
Hadits dimaksud sebagai berikut: “Dari Muad’z bin Jabal (diriwayatkan bahwa) ia
berkata: Rasulullah mengutusku ke Yaman. Ketika baru berangkat, ia mengirim
seseorang untuk memanggilku kembali maka aku pun kembali. Lalu beliau berkata:
“Apakah engkau tahu mengapa saya mengirim orang untuk menuruhmu kembali?
Janganlah kamu mengambil sesuatu apapun tanpa seizinku karena hal itu adalah ghulul, dan barangsiapa melakukan
penggelapan maka ia membawa barang yang digelapkan itu pada hari kiamat. Untuk itulah aku memanggilmu, sekarang
berangkatlah untuk tugasmu.”(HR. al-Tirmidzi). al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi,
(Indonesia: ttp, Maktabah Dahlan, tth), jilid 2, hlm. 396.
[14][14] Muhammad Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
AMZAH, 2011), hlm. 85.
[15][15]
Hadits riwayat Muslim: “Dari Ibnu Umar, ia berkata: Sesungguhnya aku mendengar
Nabi bersabda: Tidak diterima shalat tanpa wudlu dan sedekah dari hasil korupsi
(ghulul).” (HR. Muslim) Lihat
al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, hlm.
224.