Minggu, 16 Juni 2013

Tafsir Ayat Pidana Korupsi


Tafsir Ayat Pidana Korupsi 

A.    Definisi Korupsi
Korupsi adalah sebuah kata yang mempunyai banyak arti. Arti kata korupsi secara harfiah ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Korupsi dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah usaha memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam undang-undang korupsi yang berlaku di Malaysia korupsi diartikan sebagai risywah yang dalam bahasa Arab bermakna suap. Berbeda dengan korupsi dan suap, hadiah sesungguhnya adalah sebuah perbuatan yang tidak melanggar. Akan tetapi dalam hal ini perlu untuk meneliti apa sesungguhnya kriteria hadiah yang tidak merupakan korupsi ataupun suap.[1][1]
B.     Kualifikasi Tindak Pidana Korupsi dalam Fiqh Jinayah
Berikut ini adalah kualifikasi mengenai tindak pidana korupsi dalam fiqh jinayah, bagaimana agar dapat memperoleh komparasi dengan unsur-unsur korupsi yang ada dalam hukum pidana positif yang selanjutkan akan menguraikan unsur-unsur tindak pidana (jarimah) dalam fiqh jinayah beserta definisinya yang akan mendekatkan dengan terminologi korupsi di masa sekarang. Beberapa jarimah tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Ghulul (penggelapan)
b.      Risywah (penyuapana)
c.       Ghasab (mengambil paksa hak atau harta orang lain)
d.      Sariqah (pencurian)
e.       Hirabah (perampokan)
Setelah membaca kesemua tersebut, penulis lebih cenderung untuk menafsirkan dan membahas tentang ghulul atau penggelapan yang mendekati dengan hal korupsi.
C.    Ayat Korupsi (Ghulul/Penggelapan)
Surat Ali ‘Imron (3) Ayat 161 :
$tBur tb%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& ¨@äótƒ 4 `tBur ö@è=øótƒ ÏNù'tƒ $yJÎ ¨@xî tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 §NèO 4¯ûuqè? @à2 <§øÿtR $¨B ôMt6|¡x. öNèdur Ÿw tbqßJn=ôàムÇÊÏÊÈ  
D.    Terjemah Ayat
”Tidak mungkin seorang Rosulullah berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat niscaya pada hari kiamat ia akan datang dengan membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya dan mereka tidak didzalimi.”
E.     Definisi Ghulul
Muhammad bin Salim bin Sa’id Babasil al-Syafi’I mengemukakan bahwa di antara bentuk-bentuk kemaksiatan tangan adalah al-ghulul atau berkhianat dengan harta rampasan perang, dan hal ini termasuk ke dalam dosa besar. Dalam kitab al-Zawajir dijelaskan, bahwa ghulul adalah tindakan mengkhusukan atau memisahkan yang dilakukan oleh seseorang tentara, baik ia seorang pemimpin terhadap harta rampasan perang sebelum dibagi, tanpa menyerahkannya terlebih dahulu kepada pemimpin untuk dibagi menjadi lima bagian, meskipun harta yang digelapkan itu hanya sedikit.[2][2]
F.     Asbabun Nuzul        
Terdapat beberapa pendapat para ‘ulama tentang mengenai asbabun nuzul ayat ini, secara garis besar Ibnu al-‘Arabi dalam kitabnya Ahkamul Qur’an menyatakan ada dua hal mengenai asbabun nuzul ayat ini, yaitu :
1.      Diriwayatkan bahwa sesungguhnya kaum munafiqin berperasangka bahwasanya Nabi membawa beberapa harta ghanimah berupa qotifah (selendang merah dari wol) yang hilang. Maka dengan itu turunlah ayat ini. Hal tersebut senada dengan pendapat Imam Fahruddin Ar-Razi dalam kitabnya Mafatihul Ghaib.
2.      Sebagian kaum itu mengambil atau menyembunyikan harta ghanimah, atau mereka menyangka kepada Nabi. Maka turunlah ayat ini sebagai penyanggah dari persanggahan mereka.
3.      Allah itu mencegah atau melarang menyimpan sesuatu dari ketetapan. [3][3]
Fahruddin ar-Razi itu mengatakan kata yaghulla dalam ayat itu dengan dibaca yaghulla, dibaca fathah ya’ dan dhummah ghain-nya. Dan, dibaca yugholla.[4][4]
Dari ayat diatas dengan dua qiro’ah tersebut terdapat beberapa perbedaan sebab turunnya ayat tersebut. Sebagaimana berikut:
1.      Dibaca “yaghulla” ketika ayat tersebut mencegah atau membantah jikalau Nabi menyembunyikan ghanimah, dan membersihkan Nabi dari sifat khianat yang tidak sesuai dengan salah satu sifat Nabi yaitu Amanah.
2.      Dibaca “yugholla” ketika adanya sebuah indikasi bahwsanya Nabi telah dikhianati oleh sekelompok kamu atau sahabat.
Menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini terjadi setelah terjadinya perang Badar dan dikumpulkannya harta rampasan maka hilanglah sehelai Qatifah, yaitu selendang bulu (wol) berwarna merah yang biasanya dipergunakan sebagai penutup kepala di musim dingin. Maka ada yang berkata: “mungkin Rosulullah sendiri yang mengambil untuk beliau.” Orang ini berkata tidaklah dengan menuduh atau memburukkan. Melainkan merasa, bahwa jika beliau yang mengambil, itu adalah hak beliau. Tetapi riwayat ini didha’ifkan oleh beberapa ahli tafsir, dikarenakan riwayat ibnu abbas mengenai perang uhud.[5][5]
Tetapi menurut riwayat yang dikuatkan oleh al-Kalby dan muqatil, memang sebab turun ayat ini ialah di perang uhud itu juga. Riwayat itu berbicara bahwa pemanah-pemanah yang dipandang salah karena meninggalkan posnya itu menyangka, bahwa harta rampasan tidak akan dibagikan pada mereka sebagaimana di perang badar. Dan mendengar perkataan mereka itu Nabi Muhammad berkata: “apakah kamu sangka kami akan berbuat curang dan tidak akan membagikan kepadamu?” karena itulah turun ayat tersebut.
Secara umum, banyak ‘ulama selalu menghubungkan ayat ini dengan peristiwa perang Uhud pada tahun ke 3 H. Meskipun juga terdapat riwayat lainnya yang mengindikasikan turunnya ayat ini adalah berkaitan dengan sehelai beludru merah yang hilang pada perang Badar.[6][6]

G.    Penafsiran
Melalui pembahasan penafsiran kali ini, penulis mencoba menitik beratkan pembahasan ini pada kata “Yaghulla” yang terdapat dalam Surat Ali ‘Imron (3) ayat 161 yang mana sesuai masuk dalam unsur sebuah tindak pidana korupsi. Di dalam ayat ini terdapat kata Yaghulla atau Ghulul yang dapat kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti curang atau menggelapkan. Dalam kamus Arabi arti dari Ghalla – yaghullu – ghullan adalah seseorang mengambil sesuatu lalu dimasukkan dengan sembunyi-sembunyi ke dalam barang yang lain.
            Kemudian dari kalimat di atas, kalimat ini dipakai untuk orang yang mendapat harta rampasan perang lalu sebelum barang itu dibagi dengan adil oleh kepala perang, telah terlebih dahulu disembunyikannya ke dalam penaruhannya. Sehingga barang itu tidak masuk dalam pembagian, maka samalah keadaan itu dengan mencuri. Karena menurut peraturan perang, harta ghanimah tersebut dikumpulkan menjadi satu terlebih dahulu setelah perang baik besar maupun kecil. Kemudian, kepala perang membagikan barang tersebut dengan adil, walaupun menurut kebijaksanaan beliau barang yang di dapat oleh seseorang diserahkan pula kepadanya untuk dimiliki sendiri. Tetapi pertimbangannya adalah harus mendahulukan hak baitul maal (Negara) dan barang siapa yang melakukan ghulul sama artinya dia berkhianat.[7][7]
Ketika secara etimologis kata ghulul berasal dari kata kerja “Ghalala – Yaghlilu.” Masdar atau verbal noun-nya ada beberapa yaitu al-ghillu, al-ghullah, al-ghalalu, atau al-ghalil dan dari kesemuanya itu oleh Ibnu al-Manzhur mengartikan dengan sangat kehausan dan kepanasan.[8][8]
Al-Mu’jam al-Wasit lebih spesifik dalam mengemukakan kata ghulul yang berasal dari kata kerja “Ghalla – Yaghullu” yang memiliki arti berkhianat dalam pembagian harta rampasan perang atau dalam harta yang lain. Ini sejalan dengan penafsiran Ibnu al-‘Arabi yang mengatakan bahwa jika “Ghalla – Yaghullu” dengan dibaca dlammah huruf ghain pada fi’il mudlori’-nya maka berarti pengkhianatan secara umum, di lain sisi juga Ibnu al-‘Arabi mengatakan jika dibaca kasrah huruf ghain-nya maka berarti kedengkian atau busuk hati.
            Setelah dibaca seksama, setidaknya penulis al-Mu’jam al-Wasit berbeda pendapat dengan Ibnu al-Manzhur dalam memberikan makna ghulul.
            Secara terminologis, Rawas Qala’arij dan Hamid Sadiq Qunaibi mengemukakan denfinisi ghulul dengan arti mengambil sesuatu dan menyembunyikan hartanya.[9][9]
             Abu bakar jabir al-Jara’i dalam kitabnya menafsirkan makna ”an yaghulla” dengan mengambil sesuatu dari barang rampasan perang secara diam-diam. Jadi, kesimpulannya adalah ma’na ghalla atau ghulul sama dengan pencurian dari barang rampasan sebelum pembagian.
Menurut al-Jazairy juga bahwa ghulul adalah termasuk dosa besar. [10][10] sedangkan Ibnu al-‘Arabi, mengkategorikan berkhaianat dalam ghonimah (ghulul) tidak termasuk sariqoh, karena sebelum ghonimah tersebut dibagi kepada yang berhak, mereka masih mempunyai hak atas ghonimah tersebut. maka dia cukup di ta’zir. Ibnu al-‘Arabi berpendapat, ketika seseorang mengambil ghonimah dan kita mengetahuinya maka harta itu kita tarik kmbali dan kita membenarkan akhlaqnya. Namun Auza’i, Ahmad, Ishaq teramasuk fuqoha dan Khusen tabiin menentukan harta rampasan harus dibakar kecuali hewan dan alat perang.
Berbicara tentang ghulul, ibnu arabi memberikan penafsiran dengan 3 macam ma’na sebagai berikut:
1.      Khianat mutlak
2.      Busuk hati (kedengkian)
3.      Khianat dalam hal rampasan perang
Tetapi pendapat yang paling tepat menurut Ibnu al-‘Arabi tentang ghulul adalah pendapat yang ketiga yaitu khianat dalam hal rampasan perang.
Adapun kata “Ghulul” dalam arti berkhianat terhadap harta rampasan perang disebutkan dalam firman Allah Surat Ali ‘Imron ayat 161 yang artinya, tidak mungkin seorang Rasulullah berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barang siapa berkhianat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya dan mereka tidak dizalimi.
Ibnu katsir berpendapat, bahwasanya ghulul diartikan khianat secara mutlak jika memandang dari pembagian Ibnu al-‘Arabi. Hal ini, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir bahwasanya ayat di atas diturunkan untuk membersihkan Nabi dari semua bentuk khianat dalam menyampaikan amanah, pembagian ghanimah, dan yang lainnya.[11][11]
Quraisy Syihab dalam tafsirnya Al Misbah mengungkapkan bahwa senyatanya pengkhianatan yang disebutkan dalam surat Ali Imron ayat 161 terjadi pada saat perang Uhud. Perang Uhud adalah suatu kejadian di mana muslimin mengalami kekalahan. Salah satu faktor kekalahan tersebut disinyalir adalah kerakusan sahabat yang kemudian menghambur ke bawah gunung untuk mengambil harta rampasan perang.
Dengan tindakannya ini, mereka berarti juga telah mengkhianati komando rasulullah untuk tetap berada di atas gunung apapun yang terjadi. Strategi ini adalah taktik utama rasulullah untuk memenangkan perang dengan jumlah pasukan dan logistik yang tidak seimbang antar kedua belah pihak. Pada dasarnya, selain dilatarbelakangi rasa rakus, mereka juga khawatir Rasulullah tidak akan memberikan pembagian harta rampasan perang dengan adil kepada para prajurit. Lebih lanjut Quraisy menambahkan bahwa padanan kata dari al-ghulul di sini adalah lafadz al fadhihah, yakni melakukan sesuatu yang mencemarkan nama baik dan memalukan.
Sebenarnya, kasus yang terjadi mengenai penggelapan ketika mengacu pada hadits-hadits yang ada bukanlah hanya sebatas dalam lingkup harta rampasan perang saja tetapi juga pada sumber-sumber pendapatan yang lainnya juga. Misalnya, dalam kasus pemanggilan kembali Mu’adz bin Jabal yang diutus ke Yaman bersama Abu Musa al-Asy’ary oleh Rosulullah. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa kejadian ini terjadi pada tahun 10 H. Keduanya di utus ke Yaman  untuk menjadi kepala daerah sekaligus guru di San’a.[12][12] setelah Mu’adz berangkat dan berada dalam perjalanan, Rosulullah memanggil Mu’adz untuk pulang kembali. Ketika menghadap Rosulullah, ia diberi pesan oleh Rosul agar tidak melakukan korupsi terhadap apapun selama berada di Yaman.[13][13]
Berdasarkan hadits di atas inilah, ruang lingkup ghulul bukan hanya terbatas pada harta rampasan perang semata, melainkan juga mencakup harta-harta yang lainnya juga. Seperti, harta zakat dan jizyah. Menurut penulis, hadits ini dapat juga mengisyaratkan bahwasanya Mu’adz sebagai kepala Negara atau pejabat pemerintahan dilarang untuk melakukan sebuah tindak pidana korupsi yang dalam hal ini adalah penggelapan dan pejabat dilarang untuk melakukan pungutan-pungutan liar dari berbagai sumber pendapatan Negara.
Bahkan menurut Syamsul Anwar dalam jurnal kajian Islam Interdisipliner volume 4 no. 1 bulan Jnuari-Juni 2005 yang terdapat pada halaman 121 mengatakan, ghulul dapat lebih luas lagi mencakup semua kekayaan public yang diambil oleh seorang pejabat secara tidak sah, yaitu tanpa berdasarkan ketentuan yang berlaku.[14][14]
Ayat ini juga menegaskan bahwa seorang Nabi (terlebih Nabi Muhammad) tidak akan melakukan suatu penghianatan, sebab hal tersebut bertentangan dengan sifat amanah Nabi. Dengan demikian, khianat dalam ayat ini juga berarti khianat secara umum, semisal dalam mengemban amanah publik (misalnya jabatan) atau amanah antar individu (misalnya dititipikan barang atau pesan untuk disampaikan pada orang lain).
            Menanggapi perihal firman-Nya: pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, dipahami oleh beberapa ‘ulama dengan arti membawa dosa akibat perbuatan pengkhianatannya.
            Sebagian ‘ulama lain termasuk Imam as-Suyuti dan Imam al-Jazairy memahaminya dalam arti hakikatnya, yakni benar-benar memikul dipunggungnya apa yang dia ambil secara khianat. Ia sangat tersiksa dengan bebannya itu. Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Abu Hurirah yaitu, ketika ia dipermalukan karena mata semua tertuju kepadanya, tidak ubahnya dengan seseorang yang memikul seekor unta yang mengeluarkan suara atau seekor kambing.
Ibnu Katsir juga memberikan pendapat untuk memahami “Barangsiapa yang berkhianat niscaya pada hari kiamat ia akan datang dengan membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya dan mereka tidak didzalimi.” Yaitu “Tahdid Syadid (hukuman yang sangat berat” dan “Wa’id Akid (ancaman balasan yang sangat kuat.” Ibnu Katsir memberikan pendapat ini sejalan dengan larangan banyak hadits yang melarang untuk melakukan ghulul.
            Kata tsumma yang terdapat pada Surat Ali ‘Imron (3) ayat 161 tersebut, menurut Quraish Shihab diterjemahkan dengan kata “kemudian”, ini seakan-akan member isyarat betapa jauh nilai barang yang ia sembunyikan atau dikhianatinya dengan balasan yang diterimanya. Quraish Shihab menggambarkan seperti seseorang yang meminum seteguk air, tetapi akibatnya membinasakan dia sendiri, ini karena yang telah ia minum adalah mengandung setetes racun.
            Dari beberapa penafsiran yang terdapat di atas, baik secara etimologi maupun terminologi dapat kita simpulkan bahwasanya istilah ghulul diambil atau dilandaskan pada Surat Ali Imron (3) ayat 161. Dimana pada mulanya hanya terbatas pada tindakan pengambilann penggelapan, atau berlaku curang, dan khianat pada harta rampasan perang. Akan tetapi, dalam perkembangan yang ada yaitu menjadikan tindakan curang dan khianat terhadap harta-harta yang lainnya, seperti tindakan penggelapan terhadap baitul maal, harta bersama milik kaum muslimin, harta bersama dalam suatu kerja bisnis, harta Negara, harta zakat, dan lain-lain.
            Dengan demikian yang terjadi, ghulul atau penggelapan terhadap harta rampasan perang, zakat, jizyah, dan sebagainya pada masa Nabi memang tidak dikriminalisasikan. Hanya pada zaman Nabi secara berulang-ulang di ancam dengan api neraka atau hal yang berbau ukhrowi dengan tetap mengedepankan pendidikan moral. Seperti ketika Nabi menolak dan tidak berkenan menyalati pelaku ghulul. Di hadits lain Nabi bahkan bersabda lebih tegas bahwasanya sedekah para pelaku penggelapan tidak akan diterima oleh Allah seperti halnya ditolaknya ibadah shalat tanpa wudlu.[15][15]




Daftar Pustaka
Babashil, Muhammad bin Salim bin Sa’id al-Syafi’I. Tth. Is’ad al-Rafiq wa Bughiyyah al-Sadiq Syarh Matn Sulam al-Taufiq ila Mahabbatillah ‘ala al-Tahqiq. Indonesia: Ttp. Daru Ihya’ al-kutub al-‘Arabiyyah.
Hamka. 2003. Tafsir al-Azhar juz III. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hamzah, Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah. Tth. Beirut: Maktabah al-Ma’arif.
Ibnu Manzur, Abul Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Makram bin al-Afriqi al-Mishri. Tth. Lisan al-‘Arab. Beirut: Daru Sadir.
Irfan, Muhammad Nurul. 2011. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: AMZAH.
Ibnu Katsir. 1991. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim. Beirut: ad-Dar al-Fikr.
Ibnu al-‘Arabi. Tth. Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Imam as-Suyuti. 1983. Ad-dur al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Jazairy Abu Bakar Jabir. 1995. Aisaru at-Tafasir li Kalami al-‘Aliy al-Kabir. Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam.
Muhammad Az-Zamakhsyary, Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin Muhammad. 1995. al-Kasysyaf. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah.
Muhammad Rawas Qala’arji dan Hamid Sadiq Qunaibi. 1985. Mu’jamu Lughah al-Fuqoha’. Beirut: Dar an-Nafis.
al-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Murri. Tth. Al-Minhaj fi Syarh Sahih Muslim ibn al-Hajjaj. Riyadh: Bait al-afkar al-Dauliyyah.
Ar-Razi, Fahruddin. 1992. Tafsir Kabir au Mafatihul Ghaib. Kairo: Dar al-Fad al-‘Arobiy.
Syamsul Anwar. 2005. Sejarah Korupsi dan Perlawanan Terhadapnya di Zaman Awal Islam: Perspektif Studi Hadits, dalam Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner. Vol. 4.No. 1. Yogyakarta: PPS UIN Suka.
Shihab, Quraish. 2000. Tafsir al-Mishbah, Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an Volume 2. Jakarta: Penerbit Lentera Hati.
al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Surah. Tth. Sunan al-Tirmidzi. Indonesia: Maktabah  Dahlan.







[1][1] Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2005), hal. 5.
[2][2] Muhammad bin Salim bin Sa’id Babashil al-Syafi’I, Is’ad al-Rafiq wa Bughiyyah al-Sadiq Syarh Matn Sulam al-Taufiq ila Mahabbatillah ‘ala al-Tahqiq, (Indonesia, ttp, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth), jilid 2, hlm. 98.
[3][3] Ibnu Al-‘Arabi, Ahkamul Qur’an, (Beirut:Dar al-kutub ilmiah, tth), jilid 1, hlm. 391. Lihat juga di Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, (Beirut: Dar al-fikr, 1991), juz 1, hlm. 157.
[4][4] Fahruddin ar-Razi, Tafsir Kabir au mafatihul ghaib, (Dar al-fad al-arabi, 1992), juz 4, hlm. 536. Lihat juga di Imam as-Suyuti, ad-Dur al-Mantsur, (Beirut: dar al-fikr, 1983), jilid 2, hlm. 361.
[5][5] Prof. Dr. Hamka, Tafsir al-Azhar, (Pustaka Panjimas, 2003), juz III-IV, hlm. 180.
[6][6] Berkaitan dengan masalah ini, Syamsul Anwar, guru besar dalam bidang ushul fiqh Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dalam tulisannya Sejarah Korupsi dan Perlawanan Terhadapnya di Zaman Awal Islam: “Perspekstif Studi Hadits,” yang dimuat dalam Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, vol. 4, no. 1, Januari-Juni 2005, hlm. 112-113, mempertanyakan apakah hilangnya beludru merah di Perang Badar itu benar? Al-Tirmidzi menyatakan bahwa hadits yang menceritakan masalah ini sebagai hadits hasan. Syamsul Anwar mengemukakan bahwa penelitian al-Tirmidzi bukanlah final, tetapi dapat diuji ulang bila kita melihat sanad dari riwayat tersebut. Ia menjelaskan kembali bahwa seluruh versi dari riwayat tersebut dilaporkan melalui Khusaif bin Abdurrahman, dan tidak ada orang lain yang meriwayatkan hadits ini dari sumber (guru) Khusaif sehingga riwayat Khusaif ini tidak memiliki mutaba’ah (tidak diikuti riwayat lain yang mendukung dan menguatkan). Akhirnya, Syamsul Anwar menyimpulkan bahwa riwayat tentang hilangnya beludru merah di Perang Badar ini tidak ada mutaba’ah-nya maka harus ditolak. Jika hilangnya beludru merah di Perang Badar sebagai latar belakang turunnya surat Ali ‘Imron (3) ayat 161, hal tersebut tidak sesuai dengan konteks ayat itu sendiri dalam Al-Qur’an yang menceritakan tentang perang Uhud.
[7][7] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Pustaka Panjimas, 2003), Juz III-IV, hlm.179.
[8][8] Abul Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Makram bin Manshur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Daru   Sadir, tth), jilid 11, hlm. 499.
[9][9] Muhammad Rawas Qala’arij dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, (Beirut: Dar al-Nafis, 1985), hlm. 334.
[10][10] Abu Bakar Jabir al-Jazairy, Aisaru at-Tafasir, (Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1995), jild 1, hlm. 405.
[11][11] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, (Beirut: Dar al-fikr, 1991), juz 1, hlm. 517. Lihat juga Imam az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, (dar al-kutub ilmiah, 1995), juz 1, hlm. 424.
[12][12] Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif, tth), jilid 6, hlm. 307.
[13][13] Hadits dimaksud sebagai berikut: “Dari Muad’z bin Jabal (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah mengutusku ke Yaman. Ketika baru berangkat, ia mengirim seseorang untuk memanggilku kembali maka aku pun kembali. Lalu beliau berkata: “Apakah engkau tahu mengapa saya mengirim orang untuk menuruhmu kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu apapun tanpa seizinku karena hal itu adalah ghulul, dan barangsiapa melakukan penggelapan maka ia membawa barang yang digelapkan itu pada hari kiamat.  Untuk itulah aku memanggilmu, sekarang berangkatlah untuk tugasmu.”(HR. al-Tirmidzi). al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Indonesia: ttp, Maktabah Dahlan, tth), jilid 2, hlm. 396.
[14][14] Muhammad Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 85.
[15][15] Hadits riwayat Muslim: “Dari Ibnu Umar, ia berkata: Sesungguhnya aku mendengar Nabi bersabda: Tidak diterima shalat tanpa wudlu dan sedekah dari hasil korupsi (ghulul).” (HR. Muslim) Lihat al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, hlm. 224.